Hari
ke empat belas di bulan Februari,
Kau
membuatku mencintai tanpa terkecuali
Kemudian
kau pergi..meninggalkan sunyi
Jauh
hari aku sudah menyadari, aku telah sendiri
tapi
aku tak bisa berhenti untuk terus merasa memiliki
bisakah
kau mengerti?
Aku menggulung
surat ke-14 ku, memasukan nya ke dalam botol kaca kecil ,menutup nya rapat dan
mengikatnya dengan pita merah muda. Aku mundur selangkah, mengumpulkan kekuatan
agar bisa melempar surat botol ku jauh ke tengah danau. Seiring gemericik air
yang menyambut jatuhnya botol kaca ku, air mata ku turun, satu.. dua..tiga
tetes sampai akhirnya sudah tak bisa ku hitung.
“Oh...beberapa
hari ini pekerjaan ku semakin berat saja, sampah-sampah disini tampaknya
semakin banyak” Aku kaget dan berusaha mencari asal suara yang
rasanya sedikit menyindir ku. Ternyata nenek tua yang sedang membersihkan
sampah di tepian danau.
“Danau ini akan
terlihat lebih indah seandainya tak ada sampah”
sindirnya lagi. Aku sedikit merasa kesal, akhirnya aku putuskan untuk
berjalan menghampirinya.
“14 hari ini aku
membuang botol-botol kecil di danau ini, maafkan aku jika aku menambah
pekerjaan mu”
“Sudah ku kira
kau orang nya” ucapnya tegas
“Aku minta maaf
nek” Aku memang sedikit kesal, tapi aku juga menyadari aku salah.
“Ini sudah mau
magrib, kau belum pulang? “
“Aku sedang
ingin lebih lama tinggal disini nek” jawabku singkat
“itu rumah ku ,
kau bisa melanjutkan lamunan mu disana kalau kau mau” Nenek tua itu menunjuk ke
sebuah pondok kecil di tengah danau. Ada
baiknya juga pikirku, hari sudah mulai gelap dan sudah tak ada siapa-siapa lagi
di danau ini, aku juga malas pulang ke rumah. Kami naik perahu kecil , dan nenek
sendiri yang mendayung nya.
Pondok itu
memang kecil, tak ada listrik hanya ada lampu tempel sebagai penerangan nya.
Namun rasanya hangat dan nyaman. Aku duduk di bangku kecil , kembali menghadap
danau yang luas.
“Tidak mau
masuk?” Tanya Nenek tua sambil membuka pintu
“Aku disini saja
nek, aku ingin melihat danau lebih lama hari ini”
Nenek tua itu
masuk dan beberapa saat kemudian dia sudah kembali membawa dua gelas air teh
hangat, dan menemaniku duduk sambil menikmati angin senja hari.
“Siapa
namamu?” Tanya nya
“Dessy, nama
nenek siapa?”
“Terserah kau
mau panggil aku apa”
Nenek ini memang aneh pikirku, jadi
aku putuskan aku memanggilnya ‘nenek’ saja.
“Siapa nama Pacarmu itu?” Aku benar-benar kaget dengan pertanyaan kali
ini,
“Dari mana
nenek tau aku punya pacar?”
“Tunggu
sebentar” Nenek kemudian masuk dan beberapa saat kemudian kembali membawa keresek kecil dan memberikan nya padaku, aku
benar-benar bingung.
“Apa ini nek?”
“Coba kau buka
sendiri, kau nanti tau jawaban nya” Cepat-cepat aku membuka tali keresek hitam
itu dan ah ternyata.....
“Sepertinya
surat-surat mu tidak sampai ya nak?” Aku hanya menunduk lesu, mataku mulai
panas, melihat botol-botol kaca ku dengan surat-surat yang ku tulis selama
beberapa hari ini ternyata berujung di satu tempat : Keresek hitam nenek.
“Aku sudah tau,
surat ku tak akan pernah sampai. Tapi aku terus membuat surat-surat untuk nya
sejak tanggal 1 Februari. Selama 14 hari di awal Februari kami akan saling
mengirimkan puisi atau surat untuk mengenang masa-masa awal pacaran kami. Tahun
lalu aku juga masih sempat membuat puisi untuk nya dan dia mengirimkan surat
cinta yang di ikatkan pada setangkai mawar merah dan kami juga sempat merayakan tanggal 14
Februari sebagai hari jadi kami yang ke 3 tahun. Tapi sekarang, hanya aku yang
mengiriminya surat, dia sudah tidak lagi”
“Sepertinya dia
sudah tidak hobi menulis surat lagi untuk mu ya?” Ujar nenek, aku tersenyum
kecil, aku tau dia hanya berusaha menghiburku
“Hari itu hujan
deras dan aku minta di jemput di kampus ku” lanjut ku “Aku tidak tau apa yang
terjadi, yang aku tau hanyalah dia berlumuran darah, kaki nya hancur, seluruh badan nya di penuhi
luka memar, dia tak bisa apa-apa bahkan untuk bernafas pun dia tak sanggup,
dia hanya sanggup berbaring kaku...Dia
bahkan tak bisa mendengar permintaan maaf ku, aku benar-benar menyesal
menyuruhnya keluar menjemputku di tengah hujan deras, aku penyebab kecelakaan
nya” Hati ku rasanya sakit dan sesak
“Itu sudah
kehendak tuhan nak”
“Dia adalah
cita-cita dan mimpi terbesar ku dalam hidup, dia satu-satunya keinginan ku.
Ketika dia pergi, aku merasa sudah tak punya lagi mimpi, tak punya apapun untuk
ku raih-Aku merasa tidak hidup lagi” aku memuntahkan seluruh perasaan yang ku
pendam selama ini. Nenek beringsut mendekati ku, menepuk bahu ku lembut.
“Nak, ada saat
nya untuk bertahan dan ada saat nya untuk melepaskan, ku rasa kau sudah cukup
dewasa untuk bisa memutuskan, apakah kau ingin selama nya terjebak dalam
keadaan ini atau kau berusaha melepaskannya perlahan-lahan . Kau masih punya
kehidupan, dan dia juga telah punya kehidupan disana”
“Aku tidak
bisa.....” ucap ku lirih
“Kau hanya belum bisa, dia sudah tenang di suatu
tempat yang jauh dari jangkauan kita, jangan kau ganggu dia lagi dengan
surat-surat botol mu itu” Aku hanya
tersenyum pahit mendengar candaan nenek
“Bodoh sekali
kalau kau hanya punya satu mimpi di dunia ini, Ketika satu mimpi mu hilang dan
tidak tercapai, lepaskan lah mimpi mu itu, terbangkan ke langit. Kau lihat
awan-awan putih itu akan menangkap mimpi mu” Dia menunjuk gumpalan awan-awan
putih di atas langit merah senja hari. “Kemudian kejarlah mimpi mu yang lain,
bermimpilah sebanyak yang kau mau. Kau masih punya banyak waktu untuk bermimpi
dan menjadikan mimpi-mimpi mu lebih nyata, dengan begitu kau akan merasa lebih
hidup”
Perlahan tapi
pasti, ucapan Nenek mulai menjalar ke seluruh otak ku dan menyebar sampai ke ulu hati ku , aku
memejamkan mata, merasakan angin yang berhembus perlahan, mendengar sayup-sayup
suara burung, gemericik air danau...yah
benar ternyata aku masih hidup.
“Nek....trimakasih”
bisik ku
***
“Rido....Aku
sekarang sedang berdiri di tempat favorit kita, danau. Aku tak tau kau bisa
mendengar ku atau tidak, aku hanya ingin mengucapkan terimakasih untuk 3 tahun
yang sangat berharga, untuk setiap cinta yang telah kau berikan. Maaf...Maaf
atas ketidakmampuan ku menjaga mu dan membahagiakan mu. Hari ini sudah saat nya
untuk melepaskan mu, agar kau lebih tenang disana dan aku bisa menjalani sisa
hidup ku dengan benar-benar merasa hidup...Aku menitipkan mu pada Tuhan, dan ku
titipkan semua mimpi-mimpiku tentang mu-tentang kita pada awan-awan putih
disana, aku mencintai mu...” Tidak ada lagi tetes air mata, aku benar-benar
sudah ikhlas.
“Oh.....sampah-sampah
disini rasanya sedikit berkurang akhir-akhir ini” Aku menoleh pada asal suara
itu, nenek tua.
“Nek....” Aku
tersenyum
“Ku kira kau akan
datang untuk mengotori danau ini lagi” sindir nya
Aku tertawa
kecil, “Aku hari ini datang untuk menerbangkan mimpi, aku sudah pensiun membuat
surat botol, aku kapok karena hanya berujung di kantong plastik”
“Syukurlah
kalau kau sadar, mau mampir lagi ke rumah ku?”
“Dengan senang
hati nek” Aku berjalan mengikuti Nenek, rasanya langkah ku benar-benar ringan,
dan senja hari terasa seribu kali lebih menakjubkan dari biasanya. Dalam hati
aku bersyukur karena aku masih hidup ***
Tasikmalaya, 13 Februari 2012 pukul
11.24